Pembelajaran Matematika dengan
Pendekatan
Matematika Realistik (PMR)
- Pengertian Pendekatan Matematika Realistik (PMR)
PMR awalnya dikembangkan di Negeri Belanda. Pendekatan
ini didasarkan pada konsep Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika
merupakan aktivitas manusia. Dengan ide utamanya adalah bahwa siswa harus
diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika
dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Usaha untuk membangun
kembali ide dan konsep matematika tersebut melalui penjelajahan berbagai
situasi dan persoalan-persoalan realistik. Realistik dalam pengertian bahwa
tidak hanya situasi yang ada di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang
dapat mereka bayangkan (Heuvel, 1998).
Dan saat ini pembelajaran
masih didominasi oleh guru, siswa kurang dilibatkan sehingga terkesan monoton
dan timbul kejenuhan pada siswa. Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah
suatu teori dalam pendidikan matematika yang dikembangkan pertama kali di
negeri Belanda pada tahun 1970 oleh Institut
Freudenthal.
Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah
yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai
titik awal pembelajaran (Gravemeijer: 1994).
- Karakteristik Perkembangan
Matematika Realistik
Dalam
PMR, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga
memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung dan siswa
akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep
matematika ke bidang baru dari dunia nyata.
a. Menggunakan model-model
(matematisasi)
Menggunakan model artinya permasalahan atau ide
dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi
nyata maupun model yang mengarah ketingkat abstrak ( De Lange : 1987).
Istilah model
berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh
siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models
merupakan jembatan bagi siswa dari situasi abstrak atau dari matematika
informal ke matematika formal.
b. Menggunakan
produksi dan konstruksi (kontribusi siswa )
Menggunakan konstribusi siwa artinya pemecahkan
masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa. (Streffland : 1991).
Dalam
hal ini, menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong
untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses
belajar. Strategi–strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan
masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam mengembangkan pembelajaran
lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
c. Menggunakan interaktif
Menggunakan Interaktif artinya aktifitas proses pembelajaran dibangun oleh
interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya
(Waraskamdi : 2007).
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar
dalam Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Secara eksplisit
bentuk-bentuk interaksi yang berupa negoisasi, penjelasan, pembenaran, setuju,
tidak setuju, pernyataan atau refleksi
digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
d. Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Menggunakan
Intertwin artinya topic-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dpat
memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak (Waraskamdi : 2007).
Dalam PMR pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam
pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain, maka akan
berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya
diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks
tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
- Langkah – Langkah
Pembelajaran
Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan
realistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah
(soal) kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami
masalah tersebut. Pada tahap ini“karakteristik pembelajaran matematika
realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah menggunakan masalah
kontekstual yang diangkat sebagai starting point dalam pembelajaran untuk
menuju ke matematika formal sampai ke pembentukan konsep.
2.
Menjelaskan masalah
kontekstual
Jika situasi
siswa macet dalam menyelesaikan masalah, maka guru menjelaskan situasi dan
kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran
seperlunya (bersifat terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum
dipahami oleh siswa, penjelasan hanya sampai siswa mengerti maksud soal.
Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami
kesulitan memahami masalah kontekstual. Pada langkah ini guru memberikan
bantuan dengan memberi petunjuk atau pertanyaan seperlunya yang dapat
mengarahkan siswa untuk memahami masalah. (Gravemeinjer:1994). Yang tergolong
dalam langkah ini adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.
3.
Menyelesaikan masalah
kontekstual
Pada tahap ini siswa didorong
menyelesaikan masalah kontekstual secara individu berdasar kemampuannya dengan
memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah disediakan (Gravemeinjer:1994). Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara
mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan.
Dengan menggunakan lembaran kerja, siswa mengerjakan soal dalam tingkat
kesulitan yang berbeda. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah
dengan cara sendiri berupa pemberian petunjuk atau pertanyaan seperti, bagaimana
kamu tahu itu , bagaimana mendapatkannya, mengapa kamu berpikir demikian, dan
lain-lain berupa saran.
Pada tahap ini, beberapa dari ‘prinsip’ pembelajaran matematika realistik
akan muncul dalam langkah ini misalnya prinsip self developed models.
Sedangkan pada karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong
dalam langkah ini adalah kedua yaitu menggunakan model.
4.
Membandingkan dan
mendiskusikan jawaban
Guru
menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan
jawaban secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan (memeriksa,
memperbaiki) dan didiskusikan di dalam kelas. Sementara di tahap ini sebagai
ajang melatih siswa mengeluarkan ide dari kontribusi siswa di dalam
berinteraksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan
sarana prasarana untuk mengoptimalkan pembelajaran.
Karakteristik pembelajaran matematika realistic
yang muncul pada tahap ini adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa.
Interaksi dapat terjadi antara siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa (Gravemeinjer:1994).
D.
Konsepsi Siswa Dalam PMR
Pendekatan matematika realistik mempunyai
konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
1.
Siswa memiliki
seperangkat konsep alternatif tentang
ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2.
Siswa
memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri.
3.
Pembentukan
pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi,
modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan
4.
Pengetahuan
baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam
pengalaman.
5.
siswa tanpa
memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan
matematika.
E. Peran Guru
PMR mempunyai konsepsi tentang guru
sebagai berikut:
1.
Guru hanya sebagai
fasilitator belajar
2.
Guru harus mampu
membangun pengajaran yang interaktif
3.
Guru harus memberikan
kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu
siswa dalam menafsirkan persoalan riil
4.
Guru tidak terpancang
pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan
kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial. (Masbied.2010)
F. Konsepsi tentang Pengajaran
Pengajaran matematika dengan
pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut:
1. Memulai
pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan
pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam
pelajaran secara bermakna;
2. Permasalahan
yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam pelajaran tersebut;
3. Siswa
mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap
persoalan/masalah yang diajukan;
4. Pengajaran
berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap
jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju
terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif
penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang
ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. (De Lange, 1995)
Realistic Mathematic Education
(RME)
A.
Pengertian
RME
Realistic Mathematic
Education (RME) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang
berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Realistic Mathematic Education (RME) merupakan teori
pembelajaran matematika yang dikembangkan di negeri Belanda oleh Freudhenthal
pada tahun 1973.
Menurut Freudhental
matematika merupakan aktivitas manusia (mathematics as a human activity) dan
harus dikaitkan dengan realita (de Lang, 1999; Gravemeijer, 1994), dimana menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan
sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah
dan mengorganisasi pokok persoalan. Matematika realistik yang dimaksudkan dalam
hal ini adalah matematika sekolah
yang dilaksanakan dengan menempatkan
realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah
realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau
pengetahuan matematika formal.
Karakteristik
RME menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan kontruksi
siswa, interaktif dan keterkaitan. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan
masalah-masalah yang nyata, sehingga siswa dapat menggunakan pengalaman
sebelumnya secara langsung. Dengan pembelajaran matematika realistik siswa
dapat mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat
mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dan dunia nyata
- Komponen RME
Menurut Gravemeijer
(1994:90-91) dalam pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan RME
terdapat tiga prinsip utama yaitu:
1.
Reinvention dan Progressive
Mathematization (“penemuan terbimbing’ dan proses matematisasi yang makin
meningkat)
Menurut prinsip reinvention bahwa dalam pembelajaran matematika
perlu diupayakan agar siswa mempunyai pengalaman dalam menemukan sendiri
berbagai konsep, prinsip atau prosedur, dengan bimbingan guru. Seperti yang dikemukakan oleh Hans Freudenthal bahwa matematika merupakan
aktivitas insani dan harus dikaitkan dengan realitas.
Dengan demikian, ketika siswa melakukan kegiatan belajar
matematika maka dalam dirinya terjadi proses matematisasi.
Terdapat dua macam proses matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan
matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal merupakan proses
penalaran dari dunia nyata ke dalam simbol-simbol matematika. Sedangkan
matematisasi vertikal merupakan proses penalaran yang terjadi di dalam sistem
matematika itu sendiri, misalnya : penemuan cara penyelesaian soal, mengkaitkan
antar konsep-konsep matematis atau menerapkan rumus-rumus matematika.
2.
Didactical phenomenology (Fenomena yang mengandung muatan didaktik).
Yang dimaksud phenomenology didaktis adalah para siswa dalam mempelajari konsep-konsep,
prinsip-prinsip atau materi lain yang terkait dengan matematika bertolak dari
masalah-masalah kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi, atau
setidaknya dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan siswa sebagai masalah
nyata.
3.
Self-developed models
(Pengembangan model oleh siswa sendiri),
Yang dimaksud mengembangkan model adalah dalam mempelajari
konsep-konsep, prinsip-prinsip atau materi lain yang terkait dengan matematika,
dengan melalui masalah-masalah konteksual, siswa perlu mengembangkan sendiri
model-model atau cara-cara menyelesaikan masalah tersebut.
Model-model
atau cara-cara tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses
berpikir siswa, dari proses berpikir yang paling dikenal siswa, ke arah proses
berpikir yang lebih formal. Jadi dalam pembelajaran guru tidak memberikan
informasi atau menjelaskan tentang cara penyelesaian masalah, tetapi siswa
sendiri yang menemukan penyelesaian tersebut dengan cara mereka sendiri.
Menurut Soedjadi (2001: 3)
pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai
berikut.
1.
The use of context
(menggunakan konteks),
artinya dalam pembelajaran
matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki
siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi
siswa.
2.
Use models, bridging by
vertical instrument (menggunakan model),
artinya permasalahan atau ide
dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi
nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3.
Students constribution (menggunakan
kontribusi siswa),
artinya pemecahan masalah atau
penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4.
Interactivity (interaktif),
artinya aktivitas proses
pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru,
siswa dengan lingkungan dan sebagainya.Intertwining (terintegrasi dengan topik
pembelajaran lainnya), artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan
sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
- Penerapan Model RME di Kelas
Untuk memberikan gambaran
tentang implementasi pembelajaran matematika realistik, misalnya diberikan
contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan
pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan
pembagian menjadi bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa
memahami pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari.
Sehingga siswa benar-benar
memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama,
baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan
pembelajaran bukan matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan
istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Pembelajaran matematika
realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa dalam belajar
matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk
menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam
masalah sehari-hari.
Langkah - langkah Pendekatan RME
1.
Memahami masalah kontekstual
Guru
menyajikan masalah kontekstual kepada siswa
2.
Menjelaskan masalah kontekstual
Guru memberikan bantuan dengan memberi petunjuk yang
dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah
3.
Menyelesaikan masalah kontekstual
Guru mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah
secara individu.
4.
Membandingkan dan mendiskusikan
Guru meminta siswa untuk membandingkan dan
mendiskusikan hasil kerjanya
5.
Menyimpulkan
Dari hasil diskusi guru mengarahkan siswa untuk
menarik kesimpulan
Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Realistic Mathematic Education
1)
Kelebihan Pendekatan Realistic
Mathematic Education
Menurut
Suwarsono (dalam Evi Luthvia, 2009) terdapat beberapa kelebihan dari pendekatan
Realistic Mathematic Education (RME) antara lain sebagai berikut.
a.
RME memberikan pengertian yang jelas
dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan
kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan tentang kegunaan matematika
pada umumnya bagi manusia.
b.
RME memberikan pengertian yang jelas
dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang
dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa, tidak hanya oleh mereka yang
disebut pakar dalam bidang tersebut.
c.
RME memberikan pengertian yang jelas
dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah
tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan orang
yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan caranya sendiri,
asalkan orang itu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah
tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan
cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling
tepat, sesuai dengan tujuan dari penyesaian soal atau masalah tersebut.
d.
RME memberikan pengertian yang jelas
dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses
pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan untuk mempelajari matematika
orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri
konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu
(misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran
yang bermakna tidak akan terjadi.
2) Kelemahan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
Beberapa
kelemahan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) adalah sebagai
berikut.
a.
Upaya mengimplementasikan RME
membutuhkan perubahan pandangan
yang sangat mendasar megenahi beberapa hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan,
misalnya mengenahi siswa, guru, dan peranan soal kontekstual. Di dalam RME,
siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang
sudah jadi tetapi dipandang sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-konsep
matematika. Guru tidak lagi terutama sebagai pengajar, tetapi lebih sebagai
pendamping bagi siswa. Di samping itu peranan soal konstektual tidak sekedar
dipandang sebagai wadah untuk menerangkan aplikasi dari matematika, tetapi
justru digunakan sebagai titik tolak untuk mengkonstruksi konsep-konsep
matematika itu sendiri.
b.
Pencarian soal-soal konstektual yang
memenuhi syarat-syarat yang dituntut RME tidak selalu mudah untuk setiap topik
matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal
tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
c.
Upaya mendorong siswa agar bisa
menemukan berbagai cara untuk menyesaikan soal juga merupakan hal yang tidak
mudah dilakukan oleh guru.
d.
Proses pengembangan kemampuan
berpikir siswa, melalui soal-soal konstektual, proses pematematikaan
horisontal, dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu
yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan
cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap
konsep-konsep matematika tertentu.
Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia
(PMRI)
A. Pendekatan Pembelajaran
Matematika dengan PMRI
Terkait dengan
pendekatan pembelajaran matematika, pendekatan matematika realistik saat ini
sedang dikembangkan di Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendekatan ini merupakan adaptasi
dari pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan di
Belanda oleh Freudenthal.
PMRI merupakan
pendekatan pembelajaran yang menekankan aktivitas insani, dalam pembelajarannya
digunakan konteks yang sesuai dengan situasi di Indonesia. Dasar filosofi yang
digunakan dalam PMRI adalah kontruktivisme yaitu dalam memahami suatu konsep
matematika siswa membangun sendiri pemahaman dan pengertiannya. Karakteristik
dari pendekatan ini adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa
untuk mengkonstruksi atau membangun pemahaman dan pengertiannya tentang konsep
yang baru dipelajarinya.
Menurut Zulkardi (2000)
PMRI adalah pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang “real”
bagi siswa, menekankan ketrampilan
“proses of doing mathematics”, berdiskusi
berkolaborasi berargumentasi dengan teman sekelas sehinga dapat menemukan
sendiri dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan
masalah baik secara individu maupun kelompok.
Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia mulai diujicobakan di Indonesia pada tahun 2002. Pada
awalnya terdapat empat Universitas yang terlibat dalam pengembangan PMRI, yaitu
UPI Bandung, UNY Yogyakarta, USD Yogyakarta dan UNESA Surabaya. Masing-masing
Universitas tersebut melakukan uji coba pada dua Sekolah Dasar (SD) dan satu
MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri). Uji coba tersebut dilaksanakan mulai kelas
satu dan uji coba sudah sampai pada kelas 6. Untuk melengkapi proses
pembelajaran telah disusun perangkat pembelajaran yang terdiri dari Buku Guru,
Buku Siswa dan Lembar Aktifitas Siswa (LAS) yang disusun oleh TIM PMRI dari ke
empat Universitas tersebut.
Pendekatan PMRI, guru
berperan tidak lebih dari seorang fasilitator atau pembimbing, moderator dan
evaluator. Sutarto Hadi (2005) menyebutkan bahwa diantara peran guru dalam PMRI
adalah sebagai berikut :
1.
Guru hanya sebagai
fasilitator belajar;
2. Guru
harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
3. Guru
harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada
proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan
persoalan riil; dan
4.
Guru tidak terpancang
pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan
kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
Dengan penerapan PMRI di Indonesia diharapkan prestasi akademik
siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran
lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan
Zamroni (dalam Sutarto Hadi, 2005), pada aspek prilaku diharapkan siswa
mempunyai ciri-ciri :
1.
Di kelas mereka aktif dalam
diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari
bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
2.
Mampu bekerja sama dengan membuat
kelompok-kelompok belajar;
3.
Bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan
gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menererima gagasan
orang lain;
4.
Memiliki kepercayaan diri yang
tinggi.
B.
Prinsip PMRI
Prinsip-prinsip
PMRI adalah sebagai berikut :
1.
Guided
reinvention and didactical phenomenology
Karena matematika dalam belajar RME adalah sebagai aktivitas manusia
maka guided reinvention dapat diartikan bahwa siswa hendaknya dalam belajar
matematika harus diberikan kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang sama
saat matematika ditemukan. Prinsip ini dapat diinspirasikan dengan menggunakan
prosedur secara informal. Upaya ini akan tercapai jika pengajaran yang
dilakukan menggunakan situasi yang berupa fenomena-fenomena yang mengandung
konsep matematika dan nyata terhadap kehidupan siswa.
2.
Progressive
mathematization
Situasi yang beriisikan fenomena yang dijadikan bahan dan area aplikasi
dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata terhadap
siswa sebelum mencapai tingkat matematika secara formal. Dalam hal ini dua
macam matematisasi haruslah dijadikan dasar untuk berangkat dari tingkat
belajar matematika secara real ke tingkat belajar matematika secara formal.
3.
Self-developed
models
Peran self-developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi
real ke situasi konkrit atau dari informal matematika ke formal matematika.
Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah
model suatu situasi yang dekat dengan alam siswa. Dengan generalisasi dan
formalisasi model tersebut akan menjadi berubah menjadi model-of masalah
tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada
akhirnya akan menjadi model dalam formal matematika.
C. Karakteristik PMRI
PMRI
mempunyai lima karakteristik yaitu :
1.
Menggunakan masalah kontekstual
Masalah
kontekstual sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang
diinginkan dapat muncul.
2.
Menggunakan model atau jembatan
dengan instrumen vertikal
Perhatian
diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi dari pada hanya
mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung.
3.
Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi
yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi siswa
sendiri yang mengarahkan mereka dari metode unformal mereka ke arah yang lebih
formal atau standar.
4.
Interaktivitas
Negosiasi
secara eksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi sesama siswa dan guru
adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi
informal siswa digunakan sebagai jantung untuk mencapai yang formal.
5.
Terintegrasi dengan topik
pembelajaran lainnya
Pendekatan
holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara
terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksploitasi dalam
pemecahan masalah
D.
Model pembelajaran
PMRI
Untuk mendesain suatu model pembelajaran berdasarkan teori PMRI, model
tersebut harus mempresentasikan karakteristik PMRI baik pada tujuan, materi,
metode, dan evaluasi (Zulkardi, 2002; 2004).
1.
Tujuan
Dalam mendesain, tujuan haruslah melingkupi tiga level tujuan dalam RME
: lover level, middle level, and high level. Jika pada level awal lebih
difokuskan pada ranah kognitif maka dua tujuan terakhir menekankan pada ranah
afektif dan psikomotorik seperti kemampuan berargumentasi, berkomunikasi,
justifikasi, dan pembentukan sikap kristis siswa.
2.
Materi
Desain guru open material atau materi terbuka yang didiskusikan dalam
realitas, berangkat dari konteks yang berarti; yang membutuhkan; keterkaitan
garis pelajaran terhadap unit atau topik lain yang real secara original seperti
pecahan dan persentase; dan alat dalam bentuk model atau gambar, diagram dan
situasi atau simbol yang dihasilkan pada saat proses pembelajaran. Setiap
konteks biasanya terdiri dari rangkaian soal-soal yang menggiring siswa ke
penemuan konsep matematika suatu topik.
3.
Aktivitas
Atur aktivitas siswa sehingga mereka dapat berinteraksi sesamanya,
diskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi ini mereka mempunyai
kesempatan untuk bekerja, berfikir dan berkomunikasi tentang matematika.
Peranan guru hanya sebatas fasilitator atau pembimbing, moderator dan
evaluator.
4.
Evaluasi
Materi evaluasi biasanya dibuat dalam bentuk open-ended question yang
memancing siswa untuk menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi
atau beragam jawaban atau free productions. Evaluasi harus mencakup formatif
atau saat pembelajaran berlangsung dan sumatif, akhir unit atau topik.
E. Standar Guru PMRI
Ada
lima standar guru PMRI yaitu:
1.
Guru memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai tentang PMRI dan dapat menerapkannya dalam pembelajaran
matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
2.
Guru mendampingi siswa dalam
berpikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong inisiatif dan
kreativitas siswa.
3.
Guru mendampingu dan mendorong
siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan strategi pemecahan
masalah menurut mereka sendiri.
4.
Guru mengelola kerjasama dan
diskusi siswa dalam kelompok atau kelas sehingga siswa dapat saling belajar.
5.
Guru bersama siswa menyimpulkan
konsep matematika melalui proses refleksi dan konfirmasi.
F.
Standar Pembelajaran
PMRI
Standar
pembelajaran PMRI ada lima, yaitu:
1.
Pembelajaran materi baru diawali
dengan masalah realistik sehingga siswa dapat mulai berpikir dan bekerja.
2.
Pembelajaran memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan bertukar pendapat sehingga
siswa dapat saling belajar dan meningkatkan pemahaman konsep.
3.
Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep
matematika untuk membuat pembelajaran lebih efisien.
4.
Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep
matematika untuk memberi kesempatan bagi siswa belajar matematika secara utuh,
yaitu menyadari bahwa konsep-konsep dalam matematika saling berkaitan.
5.
Pembelajaran materi diakhiri
dengan proses konfirmasi untuk menyimpulkan konsep matematika yang telah dipelajari
dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.
G.
Standar Bahan Ajar
PMRI
Standar
bahan ajar PMRI diantaranya adalah:
2.
Bahan ajar menggunakan
permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu siswa dalam memahami
konsep matematika.
3.
Bahan ajar mengaitkan berbagai
konsep matematika untuk memberi kesempatan bagi siswa belajar matematika secara
utuh, yaitu menyadari bahwa konsep-konsep dalam matematika saling berkaitan.
4.
Bahan ajar memuat materi pengayaan dan remidi
untuk mengakomodasi perbedaan cara berpikir siswa.
5.
Bahan ajar memuat petunjuk tentang
kegiatan yang memotivasi siswa menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam
mengembangkan strategi.
6.
Bahan ajar memuat petunjuk tentang
aktivitas yang mengembangkan interaksi dan kerjasama antar siswa
DAFTAR PUSTAKA
Streefland, Leen. 1990. Realistic Mathematics Education (RME).
Gravemeijer,
K. dkk. Utrecht: OW & OC. Sugiman. 2003. Final Report of JICA Training Program.
Zulkardi.
2003 Buletin PMRI (Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia) edisi I, Juni 2003.
Ahmad Fauzan. (2003). Rute Belajar dalam RME: Suatu Arah untuk
Pembelajaran Matematika. Makalah,
disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta 27-28 Maret 2003
De Lange, J. (1987). Mathematics, Insight, and Meaning,
Utrecht : OW & Co. Gravemeijer, K.(1994). Developing Realistic
Mathematics Education, :
onwikkelen
van relistich reken/wiskundeonderwijs (met een samenvatting in het nederlands).
Nederland : Universiteit Utrechte.
Julie, Hongki. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi dan
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistik (makalah)
Marpaung, Y. (2003). Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika
di Sekolah (makalah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar