Analisis Kajian Teori Belajar
Terhadap Implikasi Pembelajaran di Sekolah Dasar
1.1 Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar
behavioristik adalah sebuah teori perubahan dalam tingkah laku
sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku
tersebut dapat berwujud sesuatu yang konkret atau yang non konkret, berlangsung
secara mekanik memerlukan penguatan. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus-responnya, menganggap orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode
pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan pendidik kepada peserta didik, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh pendidik
tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat
diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh
pendidik (stimulus) dan apa yang diterima oleh peserta didik (respon) harus
dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang
dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement)
maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip
dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
a. Reinforcement and Punishment;
b. Primary and Secondary
Reinforcement;
c.
Schedules of Reinforcement;
d. Contingency
Management;
e.
Stimulus Control in Operant
Learning;
f. The Elimination of
Responses (Gage, Berliner,
1984).
Tokoh-tokoh aliran
behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie,
dan Skinner.
1.1.1 Analisis Teori Belajar Behavioristik Terhadap Pembelajaran
Kaum behavioris
menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement
dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang peserta didik dalam
berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian
kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian
tersebut disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.
Pandangan teori
behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap
perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran
lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan
faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran
yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik
banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang
kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi
peserta didik, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan
dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik
juga cenderung mengarahkan peserta didik untuk berfikir linier, konvergen,
tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa peserta didik menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses
belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner lebih
percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar
respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang peserta didik perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika peserta didik tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan peserta didik (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan
malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong peserta didik untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan
negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya
bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif
menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
1.1.2 Implikasi Teori Belajar Behavioristik di Kelas
Dalam menerapkan teori behavioristik
terdapat beberapa prinsip kuat yang mendasarinya, diantaranya yaitu:
a. Mementingkan pengaruh lingkungan
(faktor eksternal)
b. Mementingkan bagian-bagian
c. Mementingkan
peranan reaksi
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya
hasil belajar melalui prosedur stimulus (S) respon (R)
e. Mementingkan peranan kemampuan yang
sudah terbentuk sebelumnya
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan
melalui latihan dan pengulangan
g. Hasil belajar yang dicapai adalah
munculnya perilaku yang diinginkan.
Berdasarkan teori-teori yang sudah
dikemukakan, para pendidik yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan ajar secara matang, sehingga tujuan pembelajaran yang harus
dikuasai peserta didik disampaikan secara utuh oleh pendidik. Pendidik
harus memberikan stimulus sebanyak-banyaknya agar peserta didik melakukan
respon positif, selain itu seorang pendidik juga harus mampu memilah dan
memilih stimulus yang bisa menyentuh perhatian peserta didik yang tidak kalah
pentingnya dalam menyusun bahan ajar harus disusun secara hierarki dari yang
paling sederhana sampai pada hal yang kompleks .
Kurikulum yang berorientasi pada
aliran behaviorisme harus sudah menggambarkan perincian tentang apa-apa yang
hendak disajikan kepada peserta didik. Kurikulum harus dikristalisasikan dalam
satuan acara pembelajaran (SAP) yang dirancang sedemikian rupa sebelum proses
pembelajaran dimulai.
Ketika menentukan tujuan pembelajaran
dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan
tertentu atau kompetensi dasar (KD), dan indikator-indikator yang berorientasi
padatujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan harus dapat diukur. Kesalahan
harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku
yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari
penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku
yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas
perilaku yang tampak.
Evaluasi menekankan pada respon
pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil
test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila
peserta didik menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan pendidik, hal ini
menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual.
Implikasi dari teori behavioristik
dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas
bagi peserta didik untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya peserta didik kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
1.2
Teori Belajar Humanistik
Tokoh pelopor teori belajar
Humanisme antara lain Abraham Maslow dan Carl Rogers. Maslow meyakini bahwa
belajar merupakan kebutuhan akan perkembangan motivasi. Dalam mencapai
sesuatu manusia tidak akan pernah puas,rasa puas hanya terjadi sesaat saja
sehingga manusia mencari peluang lain untuk menutupi kebutuhannya. Menurut
Maslow, puncak kebutuhan yang sekaligussebagai ukuran keberhasilan individu
ialah berhasil dalam mengaktualisasikan diri dalam dunianya (Agus Taufik,
2007: 6.6). Sementara Carl Rogers seorang ahli bimbingan konseling dengan teori
client centered -nya berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang
rasional,sosialis, ingin maju dan realistis sehingga manusia memiliki potensi
untuk tumbuh dengan aktual serta memiliki martabat yang tinggi. Rogers
menempatkan manusia secara manusiawi dalam martabat kemanusiannya. Bagi
Rogers, pendidik merupakan fasilitator yang memungkinkan peserta didik paham
akan sesuatu hal. Selain itu, dalam membimbing perlu diberinya kebebasan.
1.2.1
Analis Teori Belajar Humanistik Terhadap Pembelajaran
Tujuan belajar adalah untuk memanusiakan
manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika pelajar telah memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus
berusaha, agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan
sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut
pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.(Sugihartono, dkk).
Tujuan belajar ini ingin memperbaiki sikap para pendidik yang dinilai membunuh
karakter peserta didik. Masih banyak para pendidik yang memberikan label jelek
pada peserta didik, seperti anak bodoh, anak nakal, peserta didik bandel, atau
julukan negatif yang lainnya. Dengan teori belajar humanistik, diharapkan kita
dapat mengubah paradigma tersebut dan lebih memanusiakan peserta didik.
Tujuan utama para pendidik ialah
membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu
masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang
unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka.
(Sugihartono, dkk). Perbedaan kecepatan belajar bukan lagi menjadi alasan
pendidik untuk meninggalkan peserta didik dengan kecepatan belajar rendah.
Hasil akhir dari pembelajaran yang diinginkan adalah ketercapaian kompetensi
pembelajaran secara menyeluruh.
Manusia adalah subjek/pribadi yang
memiliki cipta, rasa, karsa yang mengerti dan menyadari akan keberadaan dirinya
yang dapat mengatur, menentukan, dan menguasai dirinya, memiliki budi dan
kehendak, memiliki dorongan untuk mengembangkan pribadinya menjadi lebih baik
dan lebih sempurna. (Driyarkara). Pendidik menjadi fasilitator dan motivator
agar peserta didik dapat mengembangkan cipta, rasa, dan karsa yang telah
dimilikinya. Pendidik yang fasilitatif memiliki beberapa cirri, diantaranya:
·
Merespon perasaan peserta didik,
·
Menggunakan ide-ide peserta didik
untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang,
·
Berdialog dan berdiskusi dengan
peserta didik,
·
Menghargai peserta didik,
·
Menyesuaikan antara kata dengan
perbuatan,
·
Menyesuaikan isi kerangka berpikir
peserta didik, dan
·
Tersenyum kepada peserta didik.
1.2.2 Implikasi
Teori Belajar Humanistik di Kelas
Pandangan kalangan humanisme tentang proses belajar
mengimplikasikan perlunya penataan peran tenaga kependidikan dan prioritas
pendidikan (AgusTaufik, 2007: 6.21). Teori ini meyakini bahwa pendidik adalah
fasilitator bukan sebagai pendidik belaka. Artinya, pendidik harus bisa
memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar dalam diri peserta didik, bukannya
berpusat pada proses pembelajaran. Peserta didik harus diberi kesempatan untuk
mengeksplorasi dan mengembangkan kesadaran dirinya untuk perkembangan aspek
kognitif, afektif maupun psikomotorik agar peserta didik bisa lebih
menguasai informasi ataupengetahuan. Pendidik berperan sebagai fasilitator,
bukan berarti ia harus pasif,akan tetapi justru pendidik harus berperan aktif
dalam suatu proses pembelajaran (Agus Taufik, 2007: 6.21). Menurut Rogers
seorang pendidik harusberperan aktif dalam hal-hal berikut ini.
a. Membantu menciptakan iklim kelas
yang kondusif dan sikap positif terhadap pembelajaran.
b. Membantu peserta didik mengklasifikasikan tujuan belajar
dengan caramemberikan kesempatan kepada peserta didik secara bebas menyatakanapa
yang ingin mereka pelajari.
c. Membantu peserta didik mengembangkan
dorongan dengan tujuannyasebagai kekuatan pembelajaran.
d. Menyediakan sumber-sumber belajar.
Belajar bermakna terjadi jika kebutuhan peserta didik
disertai motivasi instrinsik dapat terpenuhi. Selain itu kurikulum juga tidak
bersifat kaku. Pendidik harus arif dan paham betul atas keunikan peserta didik.
Rogers menyarankan agar terciptanya iklim kelas yang memungkinkan terjadinya
belajar bermakna perlu dilakukan hal-hal berikut:
·
Terimalah peserta didik
apa adanya;
·
Kenali dan bina minat peserta didik
melalui penemuannya terhadap dirisendiri;
·
Usahakan sumber belajar yang mungkin
dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memilih dan menggunakannya;
·
Gunakan pendekatan inquiry-discovery;
·
Tekankan pentingnya penilaian diri
sendiri dan biarkan peserta didik mengambil tanggung jawab untuk memenuhi
tujuan belajarnya.
Langkah-langkah umum yang biasa
dilakukan dalam pengaplikasian teori pembelajaran humanistik di kelas adalah:
·
Pendidik merumuskan tujuan belajar
yang jelas;
·
Pendidik mengusahakan partisipasi
aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur, dan
positif;
·
Pendidik mendorong peserta didik
untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas inisiatif sendiri;
·
Pendidik mendorong peserta didik
untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa
yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan;
·
Pendidik merumuskan tujuan belajar
yang jelas;
·
Pendidik mengusahakan partisipasi
aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur, dan
positif;
·
Pendidik mendorong peserta didik
untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas inisiatif sendiri;
·
Pendidik mendorong peserta didik
untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa
yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan;
1.3
Teori Belajar Kognitivistik
Teori
Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup
tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikolog
perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi
Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan
melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata -skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya-dalam
tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam
merepresentasikan informasi mental.Teori ini digolongkan ke dalam
konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan
perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan),
teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui
tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Menurut
teori ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah memiliki
pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini
tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan
berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi secara klop dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki oleh peserta didik.
Prinsip
kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada
perencanaan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a.
Seseorang yang belajar akan
lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun
berdasarkan pola dan logika tertentu
b. Penyusunan materi pelajaran
harus dari sederhana ke kompleks
c.
Belajar dengan memahami akan
jauh lebih baik dari dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian
Model
teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan adalah
model belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel, model
pemrosesan informasi dan jenis peristiwa pembelajaran dari Rober Gagne, dan
model "perkembangan intelektual" dari Jean Piaget.
1.3.1
Analisis Teori Belajar Kognitivisme Terhadap Pembelajaran
Teori
ini sangat baik untuk kemajuan intelektual peserta didik. Tetapi peserta didik
menjadi miskin kepribadian dan moralnya karena hanya menganndalkan kemampuan
intelek saja. Seharusnya teori ini dapat menyeimbangkan antara moral
kepribadian dengan dan intelektual agar lulusan yang dihasilkan bermutu baik. Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti
apabila didasarkan pada pengalaman nyata dari bahasa yang digunakan
berkomunikasi ketika berinteraksi dengan subjek belajar lainnya. dalam teori
kognitivisme dikatakan bahwa belajar atau pembelajaran adalah suatu proses
yang tidak hanya sekedar pada stimulus-respon, namun juga lebih menitikberatkan
proses membangun ingatan, retensi pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek
yang bersifat intelektualitas lainnya. Perkembangan kognitif seseorang atau
peserta didik adalah suatu proses yang bersifat genetik, artinya proses belajar
didasarkan pada mekanisme biologis perkembangan system syarafnya.
Sedangkan pembelajaranya dipengaruhi oleh dinamika perkembangan realitas
yang ada disekitar kehidupan peserta didik. Belajar juga merupakan proses yang
didasarkan pada pemahaman, karena sebenarnya setiap tingkah laku seseorang
selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal dan memikirkan situasi
di mana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan
seseorang secara langsung akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu
individu memecahkan masalah.
1.3.2
Implikasi Teori Belajar Kognitivisme didalam Kelas
Implikasi
teori belajar kognitif dalam pembelajaran, pendidik harus memahami bahwa
peserta didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya,
anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda
konkret, keaktifan peserta didik sangat dipentingkan, pendidik menyusun materi
dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks,
pendidik menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan
individual peserta didik untuk mencapai keberhasilan peserta didik. Piaget menjabarkan implikasi teori
kognitif pada pendidikan yaitu
1. Memusatkan perhatian kepada cara
berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya.
2. Mengutamakan peran peserta didik
dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
3. Memaklumi akan adanya
perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan
bahwa seluruh peserta didik tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama,
namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu
pendidik harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang
terdiri dari individu - individu ke dalam kelompok - kelompok kecil peserta
didik dari aktivitas dalam bentuk klasik,
4. Mengutamakan peran peserta didik
untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan
tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Meskipun penalaran
tidak dapat diajarkan, perkembangannya dapat disimulasi.
Prinsip-prinsip dasar teori belajar
kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Belajar merupakan peristiwa mental
yang berhubungan dengan berpikir, perhatian, persepsi, pemecahan masalah, dan
kesadaran
b. Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan
kognitif pada akhirnya sepakat bahwa pendidik harus memperhatikan perilaku
peserta didik yang tampak, seperti solusi tugas rumah, hasil tes, disamping itu
juga harus memperhatikan faktor manusia dan lingkungan psikologisnya.
c. Anggota kognitif percaya bahwa
kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke waktu.
1.4
Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan
(konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan
juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil
dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur,
kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan
tersebut.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer
begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing
orang.Pengetahuan ini bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang
berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat
menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Konstruktivisme merupakan teori belajar
dari piaget. Konstruktivisme juga bagian dari teori kognitif (Muchith,
2008:71). Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan
abad 20 (Sanjaya, 2009:123). Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar
yang memiliki posisi filosofis sebesar strategi pendidikan. Konstruktivisme
sangat berpengaruh di bidang pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi
mengajar baru (Muijs dan Reynolds, 2008:95).
Tokoh-tokoh aliran
Konstruktivisme di antaranya adalah Jean Piaget, Von Galserfeld, Vygotsky.
1.4.1
Analisis Teori Belajar Kontruktivisme terhadap Pembelajaran
Teori Belajar konstruktivisme
menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita
sendiri. Pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang
ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui
kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan sekma yang
diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik
mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi
pengalamnnya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana
seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan
keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan
peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah
instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan
dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar
manusia secara individual.
Adapun pandangan Konstruktivisme
Tentang Belajar adalah sebagai berikut:
a. Konstruktivisme memandang bahwa
pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak
menentu.
b. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman
konkrit, aktifitas kolaboratif dan refleksi dan interpretasi.
c. Seseorang yang belajar akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan
persepektif yang didalam menginterprestasikannya.
1.4.2
Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme didalam Kelas
Model konstruktivis ini lebih menekankan
pada penerapan konsep (Learning By Doing), maksudnya adalah peserta
didik belajar sesuatu melalui kegiatan manual. Dengan demikian model
konstmktivis ini lebih menekankan pada bagaimana peserta didik belajar melalui
interaksi sosial, dan pada model ini anak menemukan konsep melalui
penyelidikan, pengumpulan data, penginterprestasian data melalui suatu kegiatan
yang dirancang oleh pendidik. Dan dalam model pembelajaran konstruktivis ini
peserta didik dapat mencari pengetahuan sendiri melalui suatu kegiatan
pembelajaran seperti pengamatan, percobaan, diskusi, tanya jawab, membaca buku,
bahkan surfing di internet. Pendidik harus dapat mengembangkannya dengan
menguasai pendekatan, metoda dan model pembelajaran yang sesuai. Agar dapat
mendukung peserta didik dalam mengemukakan ide-ide, dan menumbuhkan rasa
percaya diri. Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills) lebih luas dari
sekedar keterampilan manual.
Prinsip-prinsip umum yang biasa
dilakukan dalam pengaplikasian teori pembelajaran konstruktivisme di kelas
adalah:
a.
Setiap
pendidik harus dapat memfasilitasi peserta didiknya, sehingga pengetahuan
materi yang dibangun atau dikonstruksi para peserta didik sendirisan bukan
ditanamkan oleh pendidik. Para sisiwa harus dapat secara aktif mengasimilasikan
dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya.
b. Untuk mengajar dengan baik, pendidik
harus memahami model-model mental yang digunakan para peserta didik untuk
mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan yang dibuat para
sisiwa untuk mendukung model-model itu.
b. Peserta didik perlu mengkonstruksi
pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga
pendidik dalam mengajar bukannya "menguliahi", menerangkan atau
upaya-upaya sejenis untuk mentransfer pengetahuan pada peserta didik tetapi
menciptakan situasi bagi peserta didik yang membantu perkembangan mereka
membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
c.
Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan
dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
d. Latihan memecahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
e.
Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
dengan dirinya. Pendidik hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman
yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri
peserta didik.
2.1
Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar
2.1.1 Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar Kelas
Rendah
Penerapan teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran
perkalian bilangan yang hasilnya dua angka pada pembahasaan dikelas 2 semester
1.
Dimisalkan para peserta
didik SD/MI sudah belajar tentang
penjumlahan dan sudah menguasai penjumlahan seperti 2 + 2 + 2 = 6.
Pada pembelajaran tentang perkalian, pendidik dapat mengawali kegiatan dengan
menunjukkan adanya tiga piring yang berisi 2 kue pada setiap piringnya seperti
ditunjukkan gambar di bawah ini.
Ketika pendidik meminta peserta
didiknya untuk menentukan banyaknya kue yang ada, maka diharapkan para peserta
didik akan dengan mudah menentukan jawabannya. Ada beberapa cara yang dapat
digunakan peserta didik dan dapat diterima pendidik untuk menentukan hasilnya,
yaitu: (1) dengan membilang dari 1 sampai 6 atau (2) dengan menjumlahkan 2 + 2
+ 2 = 6. Setelah itu pendidik lalu menginformasikan bahwa notasi lain yang
dapat digunakan adalah 3 × 2. Contoh ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang
baru tentang perkalian sudah dikaitkan atau disesuaikan dengan pengetahuan
tentang penjumlahan yang sudah dimiliki peserta didik. Kata lainnya, perkalian
telah diasimilasi sebagai penjumlahan berulang. Selanjutnya,
akan terjadi juga perubahan pada kerangka
kognitif si peserta didik. Kerangka kognitifnya
tidak hanya berkait dengan penjumlahan saja, akan tetapi
sudah berkembang atau berubah dengan penjumlahan berulang yang dapat disebut
juga dengan perkalian.
Dengan demikian jelaslah bahwa
asimilasi terjadi jika pengalaman baru peserta didik sesuai atau memperkuat
struktur kognitif yang sudah ada di benak peserta didik; sedangkan pada
akomodasi, struktur kognitif yang sudah ada di benak peserta didik berubah akibat
informasi atau pengalaman barunya. Berdasar contoh yang dikemukakan pendidik di
atas, para peserta didik akan memahami bahwa untuk menentukan hasil 5 × 2
adalah sama dengan menentukan banyaknya semua kue yang ada pada lima piring
yang berisi 2 kue pada setiap piringnya, seperti ditunjukkan gambar di bawah
ini. Dengan cara seperti ini diharapkan para peserta didik akan dengan mudah
menentukan bahwa: 5 × 2 = 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 10, namun pada struktur kognitif
peserta didik belum ada konsep tersebut, sehingga ia harus mengubahnya yakni
perkalian menjadi penjumlahan berulang.
2.1.2 Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar Kelas
Tinggi
Penerapan
teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Menghitung Nilai Rata-Rata
Pembahasan materi kelas 6 semester 2
Langkah-langkah
pembelajarannya:
a.
Siapkan
beberapa menara blok yang tingginya berbeda-beda sebagai benda kongkrit bagi
anak.
b. Minta anak untuk memotong beberapa
menara blok yang lebih tinggi sesuai dengan keinginannya.
c.
Tempelkan
potongan menara blok yang tertinggi kepada menara blok yang terpendek.
Selanjutnya, potong sebagian menara blok yang lebih tinggi dan letakkan atau
tempelkan pada menara blok yang kurang tinggi. Lakukan hal ini seterusnya
hingga semua menara blok adalah sama tingginya. Tinggi menara blok tersebut
yang sudah rata disebut rata-rata tingggi.
d. Ulangi kegiatan di atas, dengan cara
yang sedikit berbeda, yaitu setiap menara blok dipotong atau dipisahkan secara
vertikal. Hal ini dilakukan secara berturut-turut. Selanjutnya, susun hasil
potongan dengan cara melintang (horizontal), yaitu melengketkan pada kertas
atau buku matematika anak.
Setelah hal ini dilakukan oleh anak,
ajak mereka untuk berpikir bagaimana jika menara blok tersebut dibagi oleh lima
orang anak sama banyak? Dari sini peserta didik diharapkan dapat mengkonstruksi
sendiri tentang konsep pembagian, yaitu
25/5 = 5. Dengan demikian, rata-rata tinggi menara blok tersebut adalah 5.
Dengan pendekatan seperti di atas,
pada akhirnya anak dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui
aktivitas yang dilakukan. Dengan kata lain, tanpa mereka diajar
secara paksa, anak akan memahami sendiri apa yang mereka lakukan dan
pelajari melalui pengalamannya.
Referensi:
ü Mustaqim Burham, dkk. 2008. Ayo
Belajar Matematika. Jakarta: Pusat Perbukuan DEPDIKNAS (BSE)
ü Permana Dadi, dkk. 2009. Bersahabat
Dengan Matematika. Jakarta: Pusat Perbukuan DEPDIKNAS (BSE)
ü http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html
ü http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/BELAJAR_DAN_PEMBELAJARAN/BBM_2.pdf