Selasa, 30 Juni 2015

Penerapan Aliran konvergensi

PENERAPAN ALIRAN KONVERGENSI DALAM PEMBELAJARAN
Pentingnya pendidikan Indonesia sudah sangat tidak diragukan lagi. Semua pasti tahu betapa pentingnya pendidikan di Indonesia. Pendidikan meliputi beberapa hal salah satunya kemampuan keterampilan pengetahuan dan wawasan yang luas merupakan salah satu modal penting yang harus dimiliki untuk hidup zaman serba sulit ini. Pendidikan kemampuan ketrampilan dan wawasan yang dapat menuju kesuksesan. Tetapi tidak dipungkiri juga bahwa di Negara masih banyak sekali masalah masalah yang menyangkut didunia pendidikan pada era saat ini.
Konsep Dasar  aliran konvergensi
Aliran konvergensi merupakan gabungan dari aliran-aliran nativisme dengan empirisme, aliran ini menggabungkan pentingnya hereditas dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia, tidak hanya berpegang pada pembawaan, tetapi juga kepada faktor yang sama pentingnya yang mempunyai andil lebih besar dalam menentukan masa depan seseorang.
SEJARAH ALIRAN KONVERGENSI
Perintis aliran ini adalah William Sterm (1871-1938) seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia ini sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Konvergensi berasal dari kata Convergative yang berarti penyatuan hasil atau kerja sama untuk mencapai suatu hasil. William Stern mengatakan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dibawa sejak lahir itu merupakan petunjuk-petunjuk nasib manusia yang akan datang dengan ruang permainan. Itu semua tergantung pada lingkungan dan perkembangan potensi anak dalam belajar menyikapi perilakunya agar dapat menjadi lebih baik. Tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang dalam diri anak tidak dapat menghasilkan perkembangan anakyang optimal kalau memang diri anak tidak terdapat bakat yang mengembangkan itu. Kemampuan dua orang anak (yang tinggal dalam satu lingkungna yang sama) untuk mempelajari bahasa mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaan situasi lingkungan, biarpun lingkungnan kedua anak tersebut menggunakan bahasa sama.

ANALISIS ALIRAN KONVERGENSI
a)      Karakteristik Aliran Pendidikan Konvergensi

Karakteristik aliran pendidikan konvergensi ini berpendapat,bahwa didalam perkembangan individu itu baik dasar atau pembawaan maupun lingkungan memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu,akan tetapi bakat yang sudah tersedia itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang.

Karena itu  teori W. Stern disebut teori konvergensi ( konvergen artinya memusat kesatu titik).  Jadi menurut teori konvergensi :

1)     Pendidikan mungkin dilaksanakan.
2)    Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan                 kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah  berkembangnya potensi yang kurang baik.
3)    Yang membatasi hasil pendidikan  adalah pembawaan dan lingkungan.







Konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia.  Meskipun demikian terdapat variasi mengenai faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh kembang itu.  Seperti telah dikemukakan bahwa variasi-variasi itu tersecrmin  antara lain dalam perbedaan pandangan  tentang strategi yang tepat untuk memahami  perilaku manusia. Demikian pula halnya dalam belajar mengajar;  variasi pendapat itu telah  menyebabkan munculnya berbagai  teori  belajar mengajar dan atau teori/model mengajar.  Sebagai contoh dikenal  berbagai  pendapat tentang model-model  mengajar seperti  rumpun model umpan model belajar tuntas,  model belajar control diri sendiri,  model belajar simulasi.   Model belajar pemmrosesan informasi dan lain-lain.  Dari sisi-sisi lain, variasi  pendapat itu juga  melahirkan berbagai  pendapat gagasan tentang belajar mengajar, seperti peran guru sebagai fasilitator atau informasi,  teknik penilaian pencapaian siswa  dengan tges objektif atau tes esai,  perumusan tujuan  pengajaran  yang sangat behavior,  penekanan pada peran teknologi pengajaran.
Dengan adanya hal hal berikut dalam belajar mengajar variasi pendapat itu dapat menyebabkan munculnya teori belajar atau teori mengajar. Dengan adanya teori mengajar tersebut akan lebih mudah untuk lebih ke depan proses belajar mengajar akan semakin lancar dan berkualitas.

b)      Pengaruh Aliran Pendidikan Konvergensi Terhadap Pendidikan di Indonesia.
Pada masa revolusi kemerdekaan Konvergensi bukanlah hal yang baru dalam sistem pendidikan formal di Indonesia. Pengaruh faham ini sudah terlihat sejak pertama kali dirumuskannya sistem pendidikan nasional di Indonesia oleh Ki Hajar Dewantara. Secara eksplisit Ki Hajar Dewantoro pernah menyatakan dalam tulisannya bahwa segala alat, usaha, dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan. Selain itu Ki Hajar Dewantara juga mengatakan, ”Pendidikan itu hanya suatu “tuntunan“ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita”. Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa selain menyadari sangat pentingnya pendidikan bagi proses tumbuhkembangnya karakter dan kemampuan seseorang, beliau juga mengakui adanya peran yang cukup penting dari faktor dasar/pembawaan.

PENUTUP
Teori ini dapat disimpulkan bahwa teori ini berasal dari suatu gabungan dari teori empirisme dan teori nativisme. Pada aliran konvergensi ini bisa disebut menggabungkan faktor pembawaan dari lahir dengan lingkungan. Faktor faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peran yang sangat penting.

DAFTAR PUSTAKA

Jenis-jenis teori belajar

Sebagai landasan pendidikan Islam, maka al-Qur’an memiliki kedudukan sebagai qat’ī al-dalālah. Sedangkan hadis, ada yang qat’ī al-dalālah dan ada yang zannī al-dalālah. Karena demikian halnya, maka yang harus dijadikan landasan pertama dan utama dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an, di mana di dalamnya banyak ditemukan ayat yang berkenaan dengan teori belajar-mengajar, dan teori belajar-mengajar itu sendiri merupakan esensi dari pendidikan.
Di samping teori belajar mengajar, ada pula teori nativisme, empirisme, dan konvergensi. Teori-teori ini erat kaitannya dengan teori belajar mengajar yang bersumber dari aliran-aliran klasik dan merupakan benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat, bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya, aliran yang sangat optimis memandang anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati. Banyak pemikiran yang berada di antara kedua kutub tersebut, yang dipandang sebagai variasi gagasan dan pemikiran dalam pendidikan.
Ketiga aliran pendidikan yang disebutkan di atas, juga memiliki keterkaitan erat dengan petunjuk al-Qur’an tentang masalah fitrah manusia. Karena itulah, maka dapat dirumuskan bahwa sangat penting untuk dibahas berbagai petunjuk al-Qur’an tentang teori belajar mengajar dan kaitannya dengan teori nativisme, teori empirisme, dan teori konvergensi.
Terdapat perbedaan pandangan tentang teori belajar dalam berbagai aliran-aliran pendidikan. Perbedaan-perbedaan itu, berpangkal pada berbedanya pandangan tentang perkembangan manusia yang banyak ditemukan pembahasannya dalam psikologi pendidikan.
Teori-teori belajar dan mengajar yang muara akhirnya adalah perkembangan intelektual, pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai teori yang terdapat dalam tiga aliran pendidikan, yakni aliran nativisme, aliran empirisme, dan aliran konvergensi.
1.Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata
 natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak  didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
2.Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme (empiri
 = pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan atau potensi yang dibawa lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.
Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan peserta didiknya.
Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka.
3.Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakal untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi menjadi kenyataan, jika anak tersebut tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia.
Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia  disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasakan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni nativisme, empirisme dan konvergensi, dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan  (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan yang dimaksudkan adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Sedangkan aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima seara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang seorang peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh-kembang itu.
Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya. Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan, sedangkan menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut. Selanjutnya menurut aliran konvergensi bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling memengaruhi.
Al-Qur’an sebagai acuan dasar pendidikan Islam dalam menerangkan teori belajar mengajar telah memberikan konsep terhadap pemikiran yang terdapat aliran nativisme, empirisme dan konvergensi. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa pembawaan seorang anak (peserta didik) sejah lahirnya disebut fitrah, dan fitrah ini adalah dasar keagamaan yang dimiliki oleh setiap orang. Fitrah menurut al-Qur’an di samping dapat menerima pengaruh dari dalam (keturunan) juga dapat menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Untuk mengembangkan fitrah ini, maka pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting peranannya.

DaftarPustaka:
1.Daradjat, Zakiah, et all. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Akrasa kerjasama dengan Depag, 
2.Feisal, Jusuf Amir. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press
3.Mudyahardjo, Redja. 2002. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal tentang Dasar-dasar        Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
4.Suryabrata, Sumadi. 1984. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press
5.Tirharahardja, Umar dan La Sula. 1996. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Selasa, 16 Juni 2015

Analisi Kajian Teori Belajar



Analisis Kajian Teori Belajar Terhadap Implikasi Pembelajaran di Sekolah Dasar

1.1 Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku tersebut dapat berwujud sesuatu yang konkret atau yang non konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, menganggap orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan pendidik kepada peserta didik, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh pendidik tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh pendidik (stimulus) dan apa yang diterima oleh peserta didik (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: 
a.      Reinforcement and Punishment; 
b.      Primary and Secondary Reinforcement; 
c.       Schedules of Reinforcement; 
d.      Contingency Management;
e.       Stimulus Control in Operant Learning; 
f.       The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.

1.1.1 Analisis Teori Belajar Behavioristik Terhadap Pembelajaran
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang peserta didik dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai yang komplek.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi peserta didik, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan peserta didik untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa peserta didik menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang peserta didik perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika peserta didik tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan peserta didik (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong peserta didik untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
1.1.2 Implikasi Teori Belajar Behavioristik di Kelas
Dalam menerapkan teori behavioristik terdapat beberapa prinsip kuat yang mendasarinya, diantaranya yaitu:
a.       Mementingkan pengaruh lingkungan (faktor eksternal)
b.      Mementingkan bagian-bagian
c.       Mementingkan peranan reaksi
d.      Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus (S) respon (R)
e.       Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
f.       Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
g.      Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Berdasarkan teori-teori yang sudah dikemukakan, para pendidik yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan ajar secara matang, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai peserta didik disampaikan secara utuh oleh pendidik. Pendidik harus memberikan stimulus sebanyak-banyaknya agar peserta didik melakukan respon positif, selain itu seorang pendidik juga harus mampu memilah dan memilih stimulus yang bisa menyentuh perhatian peserta didik yang tidak kalah pentingnya dalam menyusun bahan ajar harus disusun secara hierarki dari yang paling sederhana sampai pada hal yang kompleks .
Kurikulum yang berorientasi pada aliran behaviorisme harus sudah menggambarkan perincian tentang apa-apa yang hendak disajikan kepada peserta didik. Kurikulum harus dikristalisasikan dalam satuan acara pembelajaran (SAP) yang dirancang sedemikian rupa sebelum proses pembelajaran dimulai.
Ketika menentukan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu atau kompetensi dasar (KD), dan indikator-indikator yang berorientasi padatujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan harus dapat diukur. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila peserta didik menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan pendidik, hal ini menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi peserta didik untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya peserta didik kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

1.2 Teori Belajar Humanistik
Tokoh pelopor teori belajar Humanisme antara lain Abraham Maslow dan Carl Rogers. Maslow meyakini bahwa belajar merupakan kebutuhan akan perkembangan motivasi. Dalam mencapai sesuatu manusia tidak akan pernah puas,rasa puas hanya terjadi sesaat saja sehingga manusia mencari peluang lain untuk menutupi kebutuhannya. Menurut Maslow, puncak kebutuhan yang sekaligussebagai ukuran keberhasilan individu ialah berhasil dalam mengaktualisasikan diri dalam dunianya (Agus Taufik, 2007: 6.6). Sementara Carl Rogers seorang ahli bimbingan konseling dengan teori client centered -nya berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang rasional,sosialis, ingin maju dan realistis sehingga manusia memiliki potensi untuk tumbuh dengan aktual serta memiliki martabat yang tinggi. Rogers menempatkan manusia secara manusiawi dalam martabat kemanusiannya. Bagi Rogers, pendidik merupakan fasilitator yang memungkinkan peserta didik paham akan sesuatu hal. Selain itu, dalam membimbing perlu diberinya kebebasan.

1.2.1 Analis Teori Belajar Humanistik Terhadap Pembelajaran
Tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha, agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.(Sugihartono, dkk).
Tujuan belajar ini ingin memperbaiki sikap para pendidik yang dinilai membunuh karakter peserta didik. Masih banyak para pendidik yang memberikan label jelek pada peserta didik, seperti anak bodoh, anak nakal, peserta didik bandel, atau julukan negatif yang lainnya. Dengan teori belajar humanistik, diharapkan kita dapat mengubah paradigma tersebut dan lebih memanusiakan peserta didik.
Tujuan utama para pendidik ialah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. (Sugihartono, dkk). Perbedaan kecepatan belajar bukan lagi menjadi alasan pendidik untuk meninggalkan peserta didik dengan kecepatan belajar rendah. Hasil akhir dari pembelajaran yang diinginkan adalah ketercapaian kompetensi pembelajaran secara menyeluruh.
Manusia adalah subjek/pribadi yang memiliki cipta, rasa, karsa yang mengerti dan menyadari akan keberadaan dirinya yang dapat mengatur, menentukan, dan menguasai dirinya, memiliki budi dan kehendak, memiliki dorongan untuk mengembangkan pribadinya menjadi lebih baik dan lebih sempurna. (Driyarkara). Pendidik menjadi fasilitator dan motivator agar peserta didik dapat mengembangkan cipta, rasa, dan karsa yang telah dimilikinya. Pendidik yang fasilitatif memiliki beberapa cirri, diantaranya:
·         Merespon perasaan peserta didik,
·         Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang,
·         Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik,
·         Menghargai peserta didik,
·         Menyesuaikan antara kata dengan perbuatan,
·         Menyesuaikan isi kerangka berpikir peserta didik, dan
·         Tersenyum kepada peserta didik.

1.2.2 Implikasi Teori Belajar Humanistik di Kelas
Pandangan kalangan humanisme tentang proses belajar mengimplikasikan perlunya penataan peran tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan (AgusTaufik, 2007: 6.21). Teori ini meyakini bahwa pendidik adalah fasilitator bukan sebagai pendidik belaka. Artinya, pendidik harus bisa memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar dalam diri peserta didik, bukannya berpusat pada proses pembelajaran. Peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kesadaran dirinya untuk perkembangan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik agar peserta didik bisa lebih menguasai informasi ataupengetahuan. Pendidik berperan sebagai fasilitator, bukan berarti ia harus pasif,akan tetapi justru pendidik harus berperan aktif dalam suatu proses pembelajaran (Agus Taufik, 2007: 6.21). Menurut Rogers seorang pendidik harusberperan aktif dalam hal-hal berikut ini.
a.       Membantu menciptakan iklim kelas yang kondusif dan sikap positif terhadap pembelajaran.
b.      Membantu peserta didik mengklasifikasikan tujuan belajar dengan caramemberikan kesempatan kepada peserta didik secara bebas menyatakanapa yang ingin mereka pelajari.
c.       Membantu peserta didik mengembangkan dorongan dengan tujuannyasebagai kekuatan pembelajaran.
d.      Menyediakan sumber-sumber belajar.
Belajar bermakna terjadi jika kebutuhan peserta didik disertai motivasi instrinsik dapat terpenuhi. Selain itu kurikulum juga tidak bersifat kaku. Pendidik harus arif dan paham betul atas keunikan peserta didik. Rogers menyarankan agar terciptanya iklim kelas yang memungkinkan terjadinya belajar bermakna perlu dilakukan hal-hal berikut:
·         Terimalah peserta didik apa adanya;
·         Kenali dan bina minat peserta didik melalui penemuannya terhadap dirisendiri;
·         Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memilih dan menggunakannya;
·         Gunakan pendekatan inquiry-discovery;
·         Tekankan pentingnya penilaian diri sendiri dan biarkan peserta didik mengambil tanggung jawab untuk memenuhi tujuan belajarnya.
Langkah-langkah umum yang biasa dilakukan dalam pengaplikasian teori pembelajaran humanistik di kelas adalah:
·         Pendidik merumuskan tujuan belajar yang jelas;
·         Pendidik mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur, dan positif;
·         Pendidik mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas inisiatif sendiri;
·         Pendidik mendorong peserta didik untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan;
·         Pendidik merumuskan tujuan belajar yang jelas;
·         Pendidik mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat: jelas, jujur, dan positif;
·         Pendidik mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupannya untuk belajar atas inisiatif sendiri;
·         Pendidik mendorong peserta didik untuk bebas mengemukaan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan;

1.3 Teori Belajar Kognitivistik
Teori Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikolog perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata -skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya-dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi mental.Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi secara klop dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh peserta didik.
Prinsip kognitif banyak dipakai di dunia pendidikan, khususnya terlihat pada perencanaan suatu sistem instruksional, prinsip-prinsip tersebut antara lain:
a.       Seseorang yang belajar akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu
b.      Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks
c.       Belajar dengan memahami akan jauh lebih baik dari dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian
Model teori belajar kognitif yang banyak diterapkan dalam dunia pendidikan adalah model belajar penemuan dari Brunner, model belajar bermakna dari Ausebel, model pemrosesan informasi dan jenis peristiwa pembelajaran dari Rober Gagne, dan model "perkembangan intelektual" dari Jean Piaget.

1.3.1 Analisis Teori Belajar Kognitivisme Terhadap Pembelajaran
Teori ini sangat baik untuk kemajuan intelektual peserta didik. Tetapi peserta didik menjadi miskin kepribadian dan moralnya karena hanya menganndalkan kemampuan intelek saja. Seharusnya teori ini dapat menyeimbangkan antara moral kepribadian dengan dan intelektual agar lulusan yang dihasilkan bermutu baik. Perkembangan kognitif anak akan lebih berarti apabila didasarkan pada pengalaman nyata dari bahasa yang digunakan berkomunikasi ketika berinteraksi dengan subjek belajar lainnya. dalam teori kognitivisme dikatakan bahwa belajar atau pembelajaran adalah suatu proses yang tidak hanya sekedar pada stimulus-respon, namun juga lebih menitikberatkan proses membangun ingatan, retensi pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek yang bersifat intelektualitas lainnya. Perkembangan kognitif seseorang atau peserta didik adalah suatu proses yang bersifat genetik, artinya proses belajar didasarkan pada mekanisme biologis perkembangan system syarafnya. Sedangkan pembelajaranya dipengaruhi oleh dinamika perkembangan realitas yang ada disekitar kehidupan peserta didik. Belajar juga merupakan proses yang didasarkan pada pemahaman, karena sebenarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal dan memikirkan situasi di mana tingkah laku tersebut terjadi. Pada situasi belajar, keterlibatan seseorang secara langsung akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu memecahkan masalah. 

1.3.2 Implikasi Teori Belajar Kognitivisme didalam Kelas
Implikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran, pendidik harus memahami bahwa peserta didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan peserta didik sangat dipentingkan, pendidik menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks, pendidik menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual peserta didik untuk mencapai keberhasilan peserta didik. Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu
1.        Memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. 
2.        Mengutamakan peran peserta didik dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. 
3.         Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh peserta didik tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu pendidik harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu - individu ke dalam kelompok - kelompok kecil peserta didik dari aktivitas dalam bentuk klasik,
4.        Mengutamakan peran peserta didik untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Meskipun penalaran tidak dapat diajarkan, perkembangannya dapat disimulasi.
Prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.       Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian, persepsi, pemecahan masalah, dan kesadaran
b.      Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya sepakat bahwa pendidik harus memperhatikan perilaku peserta didik yang tampak, seperti solusi tugas rumah, hasil tes, disamping itu juga harus memperhatikan faktor manusia dan lingkungan psikologisnya.
c.       Anggota kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir setiap orang tidak sama dan tidak tetap dari waktu ke waktu.

1.4 Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang.Pengetahuan ini bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Konstruktivisme merupakan teori belajar dari piaget. Konstruktivisme juga bagian dari teori kognitif (Muchith, 2008:71). Teori konstruktivisme dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad 20 (Sanjaya, 2009:123). Konstruktivisme adalah sebuah gerakan besar yang memiliki posisi filosofis sebesar strategi pendidikan. Konstruktivisme sangat berpengaruh di bidang pendidikan, dan memunculkan metode dan strategi mengajar baru (Muijs dan Reynolds, 2008:95).
Tokoh-tokoh aliran Konstruktivisme di antaranya adalah Jean Piaget, Von Galserfeld, Vygotsky.

1.4.1 Analisis Teori Belajar Kontruktivisme terhadap Pembelajaran
Teori Belajar konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (kontruksi) kita sendiri. Pengetahuan bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan sekma yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan baru. Padangan kontruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi pengalamnnya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamnnya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran dalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan dunia nyata, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Adapun pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar adalah sebagai berikut:
a.       Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. 
b.      Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaboratif dan refleksi dan interpretasi. 
c.       Seseorang yang belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif yang didalam menginterprestasikannya.

1.4.2 Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme didalam Kelas
Model konstruktivis ini lebih menekankan pada penerapan konsep (Learning By Doing), maksudnya adalah peserta didik belajar sesuatu melalui kegiatan manual. Dengan demikian model konstmktivis ini lebih menekankan pada bagaimana peserta didik belajar melalui interaksi sosial, dan pada model ini anak menemukan konsep melalui penyelidikan, pengumpulan data, penginterprestasian data melalui suatu kegiatan yang dirancang oleh pendidik. Dan dalam model pembelajaran konstruktivis ini peserta didik dapat mencari pengetahuan sendiri melalui suatu kegiatan pembelajaran seperti pengamatan, percobaan, diskusi, tanya jawab, membaca buku, bahkan surfing di internet. Pendidik harus dapat mengembangkannya dengan menguasai pendekatan, metoda dan model pembelajaran yang sesuai. Agar dapat mendukung peserta didik dalam mengemukakan ide-ide, dan menumbuhkan rasa percaya diri. Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills) lebih luas dari sekedar keterampilan manual. 
Prinsip-prinsip umum yang biasa dilakukan dalam pengaplikasian teori pembelajaran konstruktivisme di kelas adalah:
a.       Setiap pendidik harus dapat memfasilitasi peserta didiknya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para peserta didik sendirisan bukan ditanamkan oleh pendidik. Para sisiwa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya.
b.      Untuk mengajar dengan baik, pendidik harus memahami model-model mental yang digunakan para peserta didik untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu. 
b.      Peserta didik perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga pendidik dalam mengajar bukannya "menguliahi", menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk mentransfer pengetahuan pada peserta didik tetapi menciptakan situasi bagi peserta didik yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan. 
c.       Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. 
d.      Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari. 
e.       Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Pendidik hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik.
2.1 Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar
2.1.1 Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar Kelas Rendah
Penerapan teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran perkalian bilangan yang hasilnya dua angka pada pembahasaan dikelas 2 semester 1.
Dimisalkan  para  peserta didik  SD/MI  sudah  belajar  tentang  penjumlahan  dan  sudah menguasai penjumlahan seperti 2 + 2 + 2 = 6. Pada pembelajaran tentang perkalian, pendidik dapat mengawali kegiatan dengan menunjukkan adanya tiga piring yang berisi 2 kue pada setiap piringnya seperti ditunjukkan gambar di bawah ini.

Ketika pendidik meminta peserta didiknya untuk menentukan banyaknya kue yang ada, maka diharapkan para peserta didik akan dengan mudah menentukan jawabannya. Ada beberapa cara yang dapat digunakan peserta didik dan dapat diterima pendidik untuk menentukan hasilnya, yaitu: (1) dengan membilang dari 1 sampai 6 atau (2) dengan menjumlahkan 2 + 2 + 2 = 6. Setelah itu pendidik lalu menginformasikan bahwa notasi lain yang dapat digunakan adalah 3 × 2. Contoh ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang baru tentang perkalian sudah dikaitkan atau disesuaikan dengan pengetahuan tentang penjumlahan yang sudah dimiliki peserta didik. Kata lainnya, perkalian telah diasimilasi sebagai  penjumlahan  berulang.  Selanjutnya,  akan  terjadi  juga  perubahan  pada kerangka  kognitif  si  peserta didik.  Kerangka  kognitifnya  tidak  hanya  berkait  dengan penjumlahan saja, akan tetapi sudah berkembang atau berubah dengan penjumlahan berulang yang dapat disebut juga dengan perkalian.
Dengan demikian jelaslah bahwa asimilasi terjadi jika pengalaman baru peserta didik sesuai atau memperkuat struktur kognitif yang sudah ada di benak peserta didik; sedangkan pada akomodasi, struktur kognitif yang sudah ada di benak peserta didik berubah akibat informasi atau pengalaman barunya. Berdasar contoh yang dikemukakan pendidik di atas, para peserta didik akan memahami bahwa untuk menentukan hasil 5 × 2  adalah sama dengan menentukan banyaknya semua kue yang ada pada lima piring yang berisi 2 kue pada setiap piringnya, seperti ditunjukkan gambar di bawah ini. Dengan cara seperti ini diharapkan para peserta didik akan dengan mudah menentukan bahwa: 5 × 2 = 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 10, namun pada struktur kognitif peserta didik belum ada konsep tersebut, sehingga ia harus mengubahnya yakni perkalian menjadi penjumlahan berulang.

2.1.2 Contoh Penerapan Teori Belajar di Sekolah Dasar Kelas Tinggi
Penerapan teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Menghitung Nilai Rata-Rata Pembahasan materi kelas 6 semester 2
Langkah-langkah pembelajarannya:
a.       Siapkan beberapa menara blok yang tingginya berbeda-beda sebagai benda kongkrit bagi anak. 
b.      Minta anak untuk memotong beberapa menara blok yang lebih tinggi sesuai dengan keinginannya.
c.       Tempelkan potongan menara blok yang tertinggi kepada menara blok yang terpendek. Selanjutnya, potong sebagian menara blok yang lebih tinggi dan letakkan atau tempelkan pada menara blok yang kurang tinggi. Lakukan hal ini seterusnya hingga semua menara blok adalah sama tingginya. Tinggi menara blok tersebut yang sudah rata disebut rata-rata tingggi.
d.      Ulangi kegiatan di atas, dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu setiap menara blok dipotong atau dipisahkan secara vertikal. Hal ini dilakukan secara berturut-turut. Selanjutnya, susun hasil potongan dengan cara melintang (horizontal), yaitu melengketkan pada kertas atau buku matematika anak. 
Setelah hal ini dilakukan oleh anak, ajak mereka untuk berpikir bagaimana jika menara blok tersebut dibagi oleh lima orang anak sama banyak? Dari sini peserta didik diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri tentang konsep pembagian, yaitu
25/5 = 5. Dengan demikian, rata-rata tinggi menara blok tersebut adalah 5.
Dengan pendekatan seperti di atas, pada akhirnya anak dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui aktivitas yang dilakukan. Dengan kata lain, tanpa mereka diajar secara paksa, anak akan memahami sendiri apa yang mereka lakukan dan pelajari melalui pengalamannya.

Referensi:
ü  Mustaqim Burham, dkk. 2008. Ayo Belajar Matematika. Jakarta: Pusat Perbukuan DEPDIKNAS (BSE)
ü  Permana Dadi, dkk. 2009. Bersahabat Dengan Matematika. Jakarta: Pusat Perbukuan DEPDIKNAS (BSE)
ü  http://hasanudin-bio.blogspot.com/2011/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitif.html
ü  http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/BELAJAR_DAN_PEMBELAJARAN/BBM_2.pdf